Langsung ke konten utama

Tercium

Sewaktu kecil, saat pandangan lebih utama dari sebuah makna yang sebenarnya, tampak manis buah Mahkuta Dewa bila dirasa dengan mata, akan tetapi sungguh pahit bila lidah yang merasakannya. Sedikit analogi sederhada untuk menjelaskan kata.

Sewaktu kecil, tiada satu hal pun yang sangat diharap-harapkan selain menanti saudara satu klan pulang dari perantauan, ku harap-harapkan makanan orang kota yang sangat jarang lidah merasakannya, namun sewaktu besar ini ya makanan orang kota yang ku sukai dulu sekedar biskuit kering dengan kemasan kotak atau bulat terbuat dari lempengan besi (toples) dan permen warna warni dengan rasa berbeda-beda. 

Sewaktu kecil, sudah barang tentu semua yang pulang dari perantauan aku anggap sukses, sudah aku anggap kaya, banyak duit, hidup sejahtera dinegri orang yang jauh disana. Pikir luguku menapsirkannya. Sebab dulu aku merasa dari mata bukan dari makna sebenarnya. 

Mata terkecoh dengan baju-baju mentereng sedikit beberapa tahun lebih maju bila dibandingkan baju-baju yang dipakai Mamak dan Bapak didesa. Logat bahasa sedikit berbeda, dengan menceritakan asal tempat mereka merantau. Kesempatan ku mendekat berharap mendapatkan uang kertas ribuan dengan tekstur lebih kaku dan licin tidak seperti uang didesa yang kucel sampe-sampe pedang sang Pati Mura berubah menjadi pisau dapur milik Mamak.

Semua hayal ku tentang warga perantauan tak seindah kenyataan, mereka rela hidup dalam ketidap pastian demi mengikuti pola pikir yang keliru, pola pikir orang tua yang mengharap kan anak-anaknya pergi jauh setelah tamat dari SMA, mengadu nasip ke negeri orang. Merasa malu mereka yang tinggal dirumah melanjutkan usaha orang tuanya. Baju mentereng dan kulit putih bersih tanpa sedikit goresan matahari yang jadi alasannya. 

Buat apa jauh-jauh merantau bila hanya jadi buruh kontrak bertahun-tahu, samasekali tidak ada ketenangan bila dijadikan sandaran hidup. Gaji hanya cukup membayar kontrakan, sedikit ditabung lalu dihabiskan sewaktu mudik lebaran begitu seterusnya. 

Satu persatu kini mulai tercium, berani membangun keluarga dengan pekerjaan alakadarnya, istri beranak ditinggal didesa, lagi-lagi orang tua yang menanggung semuanya. Berkeinginan untuk hidup yang lebih baik akan tetapi malah kebalik.

Komentar